Selasa, 05 Agustus 2008

Tugas 4

Kasus Anarkisme Remaja


BARU-BARU ini, kita dikejutkan adanya berita terkait aksi kekerasan dan anarkisme yang dilakukan oleh para siswa. Puluhan siswa di sebuah SMK di Yogyakarta yang semula hanya menggelar unjuk rasa, tiba-tiba menjadi beringas dan bertindak anarkis dengan melakukan perusakan terhadap gedung dan fasilitas di lingkungan sekolah mereka. Fakta ini tentunya membuat hati kita (para pendidik dan juga publik) merasa trenyuh dan prihatin. Para siswa yang selama ini kita harapkan menjadi insan terdidik, cerdas intelektual serta memiliki SDM yang andal, senyatanya malah terjerat oleh salah satu penyakit masyarakat (patologi sosial), yakni terjebak untuk berperilaku anarkis, beringas dan radikal.

Aksi kekerasan yang saat ini sering dilakukan oleh para siswa/remaja harus dilihat dari dua sisi. Dari sisi peserta didik, keberadaan siswa nakal, pengganggu, jahil, tukang palak dan tingkah laku trouble maker lainnya, oleh pakar psikologi dipandang sebagai upaya mencari dan menunjukkan ‘jati diri’ serta menjaga eksistensinya sebagai remaja. Senyatanya, emosi seseorang pada masa remaja yang masih labil dan sering tak terkendali, menjadi faktor pemicu para siswa/remaja nekat melakukan tindakan anarkis -- bahkan kriminal. Namun, sering kali, kita, pihak sekolah, kalangan pendidikan, lingkungan rumah dan masyarakat kurang serius memberi perhatian sehingga kenakalan dan emosi remaja yang tak terkendali itu berkembang menjadi benih kejahatan yang lebih serius.

Ketika kenakalan dan efek labilitas emosi para siswa/remaja menjelma menjadi aksi kejahatan, kekerasan dan anarkisme, biasanya kita baru menyesali, bahkan saling menyalahkan. Untuk mengantisipasi kenakalan dan labilitas emosi siswa/remaja berkembang menjadi aksi anarkis atau tindak kriminal yang dapat menyeret pelakunya ke jalur hukum atau mematikan masa depannya, sedikitnya ada dua hal yang bisa ditawarkan. Pertama, mengefektifkan peran guru Bimbingan Konseling (BK) untuk proaktif menangani kasus-kasus siswa bermasalah secara tuntas. Dalam hal ini diperlukan kecermatan mendeteksi perilaku mana yang masih dalam tahap wajar dan mana yang berpotensi berkembang menjadi tindak anarkis dan kriminal.

Dalam konteks ini, guru BP, pihak sekolah dan orangtua siswa harus bekerja sama dengan pihak eksternal, seperti aparat keamanan dan pemuka agama untuk secara bersama-sama melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap para siswa. Dengan begitu, kemungkinan kriminalitas dan perilaku anarki di kalangan siswa/remaja dapat dicegah sejak dini. Kedua, dengan mengajarkan pendidikan ‘kecerdasan emosi’ (emotional quotient/EQ) kepada para siswa dan seluruh sivitas di lingkungan sekolah. Pendidikan kecerdasan emosi bukan hanya memperluas isi dari kurikulum sekolah, tapi juga dapat memodifikasi hubungan kehidupan sehari-hari siswa dengan sekolah.

Dalam buku ‘Kecerdasan Emosional’, Daniel Goleman menganjurkan agar memasukkan pelatihan emosi dalam kegiatan yang berbasis pada komunitas atau melibatkan banyak pihak, seperti kegiatan ekstrakurikuler, OSIS, pramuka, kelompok diskusi buku, perkumpulan orangtua murid, kelompok seni, pecinta alam dan lain sebagainya. Materi pendidikan EQ itu antara lain: (1) mengenal diri sendiri sehingga siswa dapat mengenali perasaan yang timbul beserta penyebabnya, (2) menata emosi untuk mengarahkan dirinya sendiri secara positif pada saat kondisi mereka sedang menurun, seperti marah, takut, cemas atau sedih, (3) empati, dalam arti mengetahui perasaan dan perspektif orang lain, (4) komunikasi untuk membangun suatu hubungan yang baik yang menguntungkan semua pihak; (5) kerja sama yang efektif dan sebagai puncaknya adalah (6) menyelesaikan konflik. Dengan mengoptimalkan dua upaya ini, diharapkan kasus-kasus kriminalitas dan anarkisme yang melibatkan para siswa serta pelaku pendidikan lainnya, tak akan terulang lagi di masa-masa mendatang. q - c *) Penulis, Guru (GTT) Bimbingan Konseling, SMAN 1 Bayat, Klaten.

Kekerasan Remaja Putri

Dari fenomena kekerasan yang dilakukan oleh kaum remaja (SMP/SMA) harus menjadi intropeksi bagi orang tua dan kalangan pendidikan. Sebab berbagai informasi (media) kadang hanya diterima mentah oleh mereka tanpa melakukan filterisasi, guna memilah mana yang baik dan buruk.

Sebuah tulisan dari Toto Asmara (1997) “ Tontonan jadi Tuntunan”. Dikatakan bahwa ketika tontonan menjadi tuntunan dan hiburan menjadi panutan atau sebaliknya pada saat tuntunan menjadi tontonan dan panutan berubah menjadi tepukan tidak tergerakkah nurani kita untuk mengubah wajah dan akidah kita?

Pasalnya berbagai adegan kekerasan yang ditayangkan media (televisi/film) sangat mempengaruhi perilaku penontonnya yang berjiwa labil. Sehingga tayangan tersebut dapat menjadikan Hypnotic Movie yaitu tontonan yang mampu mempengaruhi pola tindak penontonnya.

Dalam berbagai penelitian disimpulkan bahwa adegan keras yang ditayangkan film dan televis erat kaitannya dengan peningkatan tindakan kriminalitas. Dalam teori tingkah laku, seorang akan bertingkah laku sesuai dengan model idolanya. Mereka membuat imitasi, internalisasi dan bertindak seakan-akan (as if). Kini tontonan tidak lagi berada di luar rumah, tetapi sudah masuk ke kamar tidur dengan sangat memikat melalui saluran televisi.

Kaum remaja kita digoda the hidden persuader (perayu tersembunyi) termasuk kekerasan. Saatnya orang tua intropeksi dari ”hati ke hati”. Kadang orang tua merasa tidak punya banyak waktu untuk mengajak dan bercengkerama dengan anak-anak secara serius dalam kehangatan. Demi mengejar materi melupakan pentingnya kebersamaan, silaturahmi, mengasuh, mendidik, mengajar, mendampingi dalam ruang yang guyub.

Pendampingan orang tua, guru dan pemuka masyarakat harus intens.Orang tua kadang lebih menaruh kepercayaan dan menyerahkan perkembangan anak-anak di kelompok sosial masing-masing. Sesungguhnya anak-anak butuh sebuah perlindungan, keakraban, persaudaraan dengan orang tua dalam mengarungi pergaulan sosialnya. Seharusnya orang tua tidak hanya cukup memberi jaminan material kepada anak-anaknya yang berupaya menemukan identitas. Yang paling prinsip (urgen) bagaimana orang tua menerapkan mekanisme kontrol kepada anak-anaknya dalam pergaulan.

Dalam pendidikan di sekolah masa remaja (puber) merupakan masa-masa rawan dalam mencari jati diri. Guru harus peka terhadap segala perubahan perilaku dan gejolak sosial siswanya.Kegelisahan yang muncul menjadikan mereka berusaha mencari teman yang se-ide atau sepandangan. Para Remaja berkumpul dengan alasan kegelisahan yang sama. Lalu munculah nama geng sebagai identitas kelompok untuk mengekspresikan diri. Ironisnya ekspresi negatif sering lebih mengemuka dari pada melakukan tindakan positif. Disinilah tuntunan dari guru akibat tontonan media di pertaruhkan.

Mengutip pendapat George Shinn, “ kita harus ingat bahwa tiada kekuatan lain bagi keseluruhan umat manusia yang berlutut dan mengharapkan tuntunan Tuhan”. Marilah kita bersama-sama saling berusaha, berintopeksi dan menjaga demi masa depan anak didik menjadi insan yang baik, jujur, dan bertanggung jawab. Penanaman nilai baik buruk melalui perintah dan larangan agama janganlah berhenti di ajarkan kepada siswa.

Menjadi tugas bersama untuk menyelamatkan generasi muda kita dari maraknya aksi kekerasan. Usaha mereduksi dan mengelemeini agar aksi tidak semakin meluas, mempengaruhi dan merusak mental perlu sikap ketegasan dari orang tua, pelaksana pendidikan, tokoh masyarakat dan Pemerintah.

Pasalnya moralitas pendidikan anak-anak kita sudah tidak jelas (absurd). Bagaikan gunung es berkenaan dengan kekerasan yang timbul saat ini. Upaya “menyelamatkan” mereka menjadi tanggung jawab bersama.







Tidak ada komentar: