Senin, 04 Agustus 2008

Tugas 1 Psikologi Modern

Oleh: Steinar Kvale

PSIKOLOGI DAN POSMODERNISME
Posmodernisme sebagai gelombang intelektual begitu besar pengaruhnya beberapa dekade terakhir. Spirit anti kemapanannya tidak hanya menjiwai perkembangan ilmu-ilmu sosial. Bahkan, ilmu-ilmu eksakta terutama fisika yang dianggap sebagai anak emas peradaban modern pun tak luput dari pengaruhnya. Nama seperti Fritjof Capra dan Gary Zukav barangkali dapat disebut sebagai fisikawan yang memrakarsai lahirnya fisika yang posmodernistik.
Psikologi, yang masuk dalam wilayah abu-abu, juga tak luput dari rangsekan gelombang posmodernisme. Pengaruh posmodernisme pada ilmu psikologi justru kian kuat ketika sejak 1990 beberapa perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat, yang diprakarsai oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT), menghapus Departemen Psikologi dan menggantinya dengan disiplin yang relatif baru, yaitu Departemen Ilmu Kognitif.
Kebijakan itu ditempuh berdasarkan ambisi untuk membersihkan ilmu psikologi dari spekulasi- spekulasi keilmuan atau pseudo science. Pembicaraan mengenai ilmu psikologi direduksi habis-habisan dan hanya sekedar menjadi wilayah kajian ilmu syaraf (neuroscience). Pikiran, jiwa, kesadaran, dan alam bawah sadar, yang dulu menjadi bahan kajian ilmu psikologi, diempaskan jauh-jauh karena dianggap meracuni.
Protes pun bertubi-tubi dialamatkan pada ambisi keilmuan yang melulu empiristis tersebut —kebanyakan berasal dari para psikolog yang berkarir di lini praktek (untuk membedakan dengan psikolog akademik). Perbedaan yang mencolok antara psikolog akademik dan psikolog praktis terletak pada kancah kerja dan orientasi keilmuannya. Sebagai pewaris elan modernisme, para psikolog akademik bernaung dalam kereta metode saintifik sebagaimana para ilmuwan ilmu-ilmu alam yang mendahuluinya.
Kita tahu, perkembangan ilmu psikologi modern ditopang oleh tiga pilar utama.
Pertama
, ilmu psikologi harus bersifat universal. Artinya, ada beberapa prinsip umum dan juga hukum- hukum kemungkinan, yang bisa dijadikan tolok ukur pengembangan keilmuan. Misalnya studi mengenai persepsi, memori, dan pembelajaran harus mampu mengatasi telikungan faktor sosio-historis tertentu.
Kedua, berbasis pada metode empiris. Karena mengikuti pertimbangan rasional dari filsafat empiris logis, psikologi modern telah pula merasa terikat dengan suatu keyakinan mengenai kebenaran melalui metode. Khususnya, keyakinan bahwa dengan menggunakan metode empirik, dan terutama eksperimen terkontrol, peneliti bisa memperoleh kebenaran mutlak tentang hakikat masalah pokok dan jaringan-jaringan kausal di mana masalah pokok dibawa serta.
Ketiga, riset sebagai lokomotif kemajuan. Derivasi dari asumsiasumsi teoritis terdahulu adalah keyakinan final kaum modernis, sebuah keyakinan terhadap sifat progresif riset. Karena metode empiris diterapkan dalam masalah pokok psikologi, psikolog belajar semakin banyak mengenai karakter dasar. Keyakinan yang salah dapat dihindari, dan psikolog beralih ke arah penegakan kebenaran nilai-nilai netral dan reliabel tentang berbagai segmen dunia yang obyektif (hlm. 34-35).
Pengaruh tiga pilar utama pengembangan ilmu psikologi di atas begitu kuat dalam tradisi keilmuan hingga sekarang— terutama dalam iklim keilmuan Indonesia yang masih berkiblat ke Barat. Barangkali kita bisa melihat langsung, betapa ragam penelitian ilmiah, dari skripsi sampai disertasi, didominasi oleh model penelitian kuantitatif di mana prinsip validitas dan reliabilitas menjadi tujuan itu sendiri. Aktivitas penelitian hanya diabdikan pada pengujian keabsahan teori, bukan pada orientasi pemecahan masalah yang peka realitas.
Nah, beragam bentuk gugatan terhadap pemujaan atas metode ilmiah dalam psikologi dituangkan dalam buku ini. Para psikolog dari berbagai latar belakang konsentrasi, yang membaptis dirinya sebagai psikolog posmodern, menuangkan buah- buah pemikirannya yang brilian sebagai bentuk reaksi terhadap dominasi psikologi modern. Ada asumsi bersama yang diyakini para penulis bahwa semua cabang ilmu psikologi yang dipelajari hingga sekarang, entah itu psikologi klinis, sosial, perkembangan, dan lainnya, tak satu pun yang bisa luput dari pengaruh metode saintifik. Manusia, dengan berbagai macam latar belakang budaya, dipaksa tunduk hanya pada satu penjelasan.
Apakah kita bisa menerima asumsi bahwa kehidupan George Bush Jr. dan Dalai Lama sama- sama digerakkan oleh motif pencarian kenikmatan (Freud) dan haus kekuasaan (Adler)? Tentu kita akan menjawab tidak!
Apakah kita bersedia disetarakan dengan tikus atau simpanse yang bereaksi terhadap segala sesuatu ketika diberi stimulus (Pavlov, Watson)? Tentu kita akan membela dengan gigih bahwa kita adalah makhluk yang dikaruniai kebebasan tidak sebagaimana hewan yang hanya memiliki insting. Apakah kita tidak sadar bahwa berbagai macam jenis gangguan jiwa yang tak terhitung jumlahnya, yang dipublikasikan oleh Asosiasi Psikiatri Amerika, ternyata hanya untuk memantapkan posisi mereka dan demi kelangsungan dan keuntungan industri farmasi? Apakah kita menyadari bahwa kleptomania ternyata bukan penyakit bawaan—karena istilah itu baru muncul pada 1960- an ketika industri hypermarket menggurita di Amerika? Dan tak terhitung lagi keganjilan lain yang seakan-akan obyektif, padahal itu lahir dari konstruksi sosial.
Lantaran dampak penggunaan metode ilmiah yang dipaksakan dalam psikologi telah memperparah proses dehumanisasi (manusia semata-mata sebagai obyek eksperimen yang dapat dikendalikan), upaya melahirkan sebuah pendekatan baru dalam psikologi kian mendesak. Para psikolog dalam buku ini berpendapat, dominasi dan pengaruh metode ilmiah dalam psikologi baru bisa direduksi cengkeramannya ketika pengembangan ilmu psikologi untuk waktu selanjutnya memenuhi kriterium-kriterium tertentu.
Kriterium itu pertama, penghapusan wacana tunggal. Artinya, tidak ada definisi teori psikologi mana pun yang bersifat universal, semua teori terbentuk dari latar belakang sosiohistoris tertentu. Ngelindur di Amerika sudah dianggap sebagai gangguan psikologis, padahal kita yang hidup di Indonesia menganggap kejadian itu sebagai kewajaran. Kedua, dari universalitas ke refleksi kontekstual. Artinya, ilmu psikologi harus dikembangkan dari fakta-fakta dan pendekatan lokal sehingga setiap fenomena terjaga keunikannya.
Ketiga, marjinalisasi metode. Artinya metode penelitian hanyalah sekedar alat teropong sarana), bukan tujuan itu sendiri. Dan keempat, mengusung kritik kultural. Ilmu dan teknologi modern telah menyumbang problem-problem serius kemanusiaan yang luput dari perhatian karena hal itu dianggap sebagai risiko yang wajar bagi modernitas—ilmu psikologi posmodern, karena itu, harus bersifat kritis terhadap setiap klaim universal psikologi modern dan juga senantiasa kritis sekaligus peka terhadap dinamika masyarakat (hlm. 41-46).
Namun, sebagai bentuk koreksi, kriterium-kriterium pengembangan ilmu yang diajukan para psikolog posmodern di atas dilatarbelakangi oleh aktivitas keilmuan mereka yang kebanyakan dihabiskan di wilayah konseling. Pertemuan mereka dengan banyak kasus menuntut mereka untuk lebih berempati terhadap berbagai jenis gangguan psikologis—dan mereka juga dituntut untuk berani memperkaya perspektif—tidak selalu merujuk pada psikologi mainstream. Psikologi posmodern dibangun di atas filsafat manusia yang tidak tunggal, sebab setiap kebudayaan dan latar belakang sosio-historis yang berbeda akan melahirkan karakter manusia yang berbeda pula.
Sebagai wacana keilmuan yang baru, psikologi posmodern harus siap mempertaruhkan dirinya di belantara tradisi keilmuan. Gugatan atas status quo keilmuan akan memunculkan kemungkinan yang mendebarkan: ia bisa jadi diterima dengan antusias di kalangan ilmuwan psikologi, atau sebaliknya, ia akan dipandang sebelah mata, bahkan dicampakkan. Tapi, selagi kritik itu diberangkatkan dari keprihatinan yang nyata dan dialamatkan dengan membawa argumen-argumen yang jelas, ia akan tetap memiliki masa depan. Sebab, tradisi keilmuan dibangun di atas kritisisme yang selalu tak puas diri.

Psikologi Biososial

Suatu teori empiris, yakni tekhnik analisis faktor, dan pendirian teoritis yang perkembangannya sangat tergantung pada penggunaan metode tersebut, yakni teori kepribadian dari Raymond B. Cattell. Para teoritis lain yang berkecimpung dibidang kepribadian telah pula menggunakan tehnik ini; H.J Eysenck, J.P Guilford, Cyril Burt, L.L Thurstone dan W. Stephenson termasuk dalam jajaran para pelopor yang penting. Akan tetapi teori Cattell merupakan teori kepribadian yang paling komprehensif dan yang paling tuntas dikembangkan berdasarkan analisi faktor.

Seorang psikolog inggris terkemika dan yang menjadi sangat terkenal karena karyanya tentang kemampuan-kemampuan mental ( Spearman,1927). Ia berpendapat bahwa jika kita menyelidiki dua tes kempuan yang paling berhubungan, maka kita bisa berharap menemukan dua macam faktor yang ikut menentukan performans pada dua tes tersebut pertama, terdapat faktor umum dan yang kedua terdapat faktor khusus. Metode analisis faktor dikembangkan sebagai sarana untuk menentukan adanya faktor-faktor umum dan membantu untuk mengenalinya. Analisis faktor dewasa ini memberikan tekanan khusus pada faktor-faktor kelompok ini.

Suatu pemahaman terinci tentang analisis faktor tidak terlalu diperlukan untuk tujuan pemaparan dalam bab ini; akan tetapi penting bahwa pembaca menyadari logika umum yang melatarbelakangi tehnik tersebut. Teoritikus faktor biasanya memulai penelitian tentang tingkahlaku dengan sejumlah besar skor untuk masing-masing dari sejumlah besar subyek. Idealnya, pengukuran-pengukuran ini harus mencakup bermacam-macam aspek tingkahlaku. Berdasarkan indeks-indeks kasar ini, penelitian kemudian memakai tehnik analisis faktor untuk menentukan faktor-faktor pokok atau mengontrol variasi pada variabel-variabel permikaan tersebut.

Hasil analisis faktor tidak hanya mengisolasikan faktor-faktor fundamental, tetapi juga memberikan pengukuran dan kumpulan skor sutu taksiran tentang sejauh manakah pengukuran dari masing-masing faktor. Taksir ini biasanya disebut muatan faktor ( factor loading ) atau serapan ( saturation) dari suatu pengukuran dan menunjukan seberapa banyak variasi pada suatu pengukuran tertentu disebabkan oleh masing-masing dari antara faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor hanya merupakan usaha untuk merumuskan variabel-variabel yang dianggap akan menjelakan komleksitas aneka ragam tingkahlaku yang dapat diamati.

Salah satu persoalan lain yang ternyata sedikit kontroversial di kalangan para analis faktor yang perlu dikemukakan di sini ialah pembedaan antara sistem-sistem faktor othogonal dan sistem-sistem faktor oblique ( besarta pengertian tentang faktor-faktor tingkat kedua atau “second order factor”). Penggunaan faktor-faktor olique mengandung suatu implikasi tambahan. Jika diperoleh faktor-faktor yang berkorelasi satu sama lain, maka dapat diterapkan lagi pada korelasi-korelasi diantara faktor-faktor tersebut, misalnya pemfaktoran tes-tes kemampuan ( abilitytests ) kerapkali menghasilkan faktor-faktor urutan pertama, seperti “ kelancaran verbal” ( verbal fluency) “ kempuan numerik” ( numerical ability), “ visualisasi ruang” ( spatial visualization ) kemudian orang dapat melanjutkan memfaktor korelasi-korelasi antara faktor-faktor urutan pertama, sehingga mungkin menemukan suatu faktor urutan kedua” inteligensi umum” general intelligence” faktor-faktor “verbal” dan “non verbal” yang luas.

Cabang-cabang Psikologi


A. Pengertian Psikologi
Secara etimologis “Psikologi” berasal dari bahasa Yunani: Psyche dan logos. Psyche artinya jiwa dan logos berarti ilmu. Dalam bahasa arab psikologi disebut dengan “Ilmu an Nafsi”. Yang belakangan kemudian dikembangkan menjadi satu ilmu bernama “Nafsiologi”. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan “Ilmu Jiwa”.
Secara terminologi (menurut istilah pengetahuannya) Psikologi adalah “Ilmu yang mempelajari tentang segala hal yang berhubungan dengan jiwa, hakekatnya, asal usulnya, proses bekerjanya dan akibat-akibat yang ditimbulkannya.
Psikologi dapat diartikan pula dengan “Ilmu yang mempelajari tentang segala hal yang berhubungan dengan jiwa, hakekatnya, asal usulnya, proses bekerjanya dan akibat-akibat yang ditimbulkannya.
Psikologi dapat diartikan pula dengan “Ilmu yang mempelajari prilaku manusia atau tingkah laku manusia”. Setelah Psikologi berkembang luas dan dituntut mempunyai ciri-ciri sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, maka “Jiwa” dipandang terlalu abstrak. Ilmu pengetahuan menghendaki objeknya bisa diamati, dan dicatat dan diukur. Dan ternyata perilaku dianggap lebih mudah diamati, dicatat dan diukur. Meskipun demikian, arti perilaku ini diperluas tidak hanya mencakup perilaku “kasat mata” seperti : makan, membunuh, menangis dan lain-lain, tetapi juga mencakup perilaku “tidak kasat mata” seperti : fantasi, motivasi, contoh (mengapa membunuh?), atau proses yang terjadi pada waktu seseorang tidak bergerak (tidur) dan lain-lain.
“Prilaku” mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Perilaku itu sendiri kasat mata, tetapi penyebabnya mungkin tidak dapat diamati langsung.
2. Prilaku mengenal berbagai tingkatan. Ada prilaku sederhana dan Stereotip seperti prilaku binatang satu sel, ada juga prilaku yang kompleks seperti dalam prilaku sosial manusia. Ada prilaku yang sederhana seperti refleks, tetapi ada juga yang melibatkan proses-proses mental-fisiologis yang lebih tinggi.
3. Prilaku bervariasi menurut jenis-jenis tertentu yang bisa diklasifikasikan. Salah satu klasifikasi yang umum dikenal adalah: Kognitif, afektif dan psikomotorik, masing-masing merujuk pada yang sifatnya rasional, emosional, dan gerakan-gerakan fisik dalam berprilaku.
4. Prilaku bisa disadari dan tidak disadari. Walau sebagian besar perilaku sehari-hari kita sadari, tetapi kadang-kadang kita ternyata pada diri sendiri mengapa kita berprilaku seperti itu.

B. Hubungan Psikologi dengan Disiplin Ilmu Lain
Prilaku manusia tidak hanya dipelajari oleh psikologi, tetapi juga oleh Antropologi, Kedokteran, Sosiologi, manajemen dan beberapa cabang Linguistik. Semua ini dikelompokan kedalam keluarga besar “Ilmu-Ilmu Prilaku” (Behavioral Sciences). Yang membedakan Psikologi dari ilmu-ilmu prilaku lain adalah : bahwa psikologi lebih menaruh perhatian pada prilaku manusia sebagai individu, sedang antropologi, sosiologi dan manajemen lebih pada prilaku manusia sebagai kelompok. Kedokteran memang menaruh perhatian pada prilaku individu, tetapi lebih menekan gejala-gejala fisik dan Psikologi lebih pada gejala-gejala mental.
Di pihak lain, Psikologi juga dipandang sebagai Ilmu Biososial karena baik aspek-aspek sosial perilaku organisme maupun aspek-aspek Fisiologis atau Biologis terjadinya prilaku mendapat perhatian yang sama besarnya.
Sejak awal perkembangannya Psikologi banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu lain. Telah diakui bahwa psikologi berinduk kepada Filsafat, khususnya filsafat mental. Namun dalam perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu (Beta) seperti Fisika, Kimia dan Biologi memberikan andil yang cukup besar baik dalam aspek metodologi maupun topik-topik kajian. Sulit untuk merinci pengaruh tersebut satu persatu. Berikut ini sekedar gambaran umum dari pengaruh ilmu-ilmu lain serta cabang-cabang Psikologi yang lahir dari singgungan tersebut diatas.

Dibawah ini adalah pengaruh ilmu-ilmu lain terhadap Psikologi dan cabang-cabang yang ditimbulkannya :

ILMU-ILMU LAIN PSIKOLOGI

Fisika PsikoFisika

Kimia Neurokemis Perilaku

Biologi Psikologi

Matematika Psikologi Kuantitatif

Kedokteran Psikologi Klinis/Psikoterapi

Sosiologi Psikologi Sosial

Antropologi Psikologi Lintas Budaya

Pendagogi Psikologi Pendidikan/
Psikologi Sekolah/
Psikologi Intruksional

C. Hubungan Psikologi dengan Tugas Pekerjaan
Hubungan Psikologi dengan pekerjaan sangat erat sekali untuk menghasilkan pekerjaan yang baik dan maksimal harus ditunjang atau diiringi oleh prilaku atau tingkah laku yang positif, yakni didukung dengan mental yang seimbang, yang tidak mengakibatkan penyimpangan-penyimpangan norma-norma dan nilai-nilai hukum yang ada.
- Hubungan Psikologi dengan Seorang Guru
Untuk masa sekarang ini banyak sekali kejadian-kejadian yang sangat merusak nilai-nilai dan norma-norma hukum agama maupun hukum negara yang menimpa dunia pendidikan, baik pendidiknya maupun anak didiknya. Yang mana semua itu akibat dari sumber daya manusianya sendiri (SDM) yang tertekan mentalnya oleh krisis-krisis yang terjadi baik krisis agama, krisis ekonomi, krisis budaya dan krisis hukum. Untuk itu hanya ada satu jalan keluar yang terbaik yakni SDM (Sumber Daya Manusia)nya harus kembali kepada norma-norma agama agar melahirkan SDM atau seorang pendidik yang berjiwa atau bermental positif dan seimbang. Dan yang sangat penting juga adalah dukungan dan peran serta pemerintah harus segera memperbaiki krisis agama, krisis ekonomi dan krisis budaya dan krisis hukum.
Akan tetapi semua itu akan sulit terwujud apabila masing-masing individunya tidak mau merubahnya.

- Hubungan psikologi dengan seorang POLISI / TNI
Untuk Hubungan Psikologi dengan seorang Polisi atau TNI tidak akan jauh beda dengan gambaran yang sudah di jelaskan di atas, karena pada kenyataannya fenomena-fenomena yang terjadi di dalam tubuh Polisi atau TNI disebabkan oleh krisis-krisis aturan dan sistem-sistem yang dibuat oleh manusia yang memiliki prilaku dan mental yang rusak yang didorong oleh krisis agama (yakni jiwa yang lepas dari aturan ajaran-ajaran agama) ; krisis ekonomi (yakni karena terdorong banyak kekurangan dan kesulitan dalam mencukupi nafkahnya, sehingga mereka terpaksa melakukan prilaku-prilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan hukum-hukum yang ada); Krisis budaya (yakni mereka harus mengikuti tradisi-tradisi yang masih mengiblat kepada tradisi dan sistem-sistem peraturan pada zaman kolonial); krisis hukum ( yakni berlakunya hukum yang tidak tegas dan tidak pasti).

D. Metode Pengenalan Tingkah Laku Manusia
Istilah metode memiliki kesamaan pengertian dengan prosedur, tata cara, alat, dan tehnik. Dalam metode penelitian yang digunakan psikologi memiliki kesamaan dengan metode yang digunakan oleh sains. Metode digunakan sejauh mampu menggali tingkah laku sebagai objek kajian psikologi. Metode ilmiah mendapat tekanan sebagai metode penelitian psikologi agar proses menjaring data, Uji Hipotesis, dan teori bukan saja menghasilkan sebuah temuan yang bersifat deskriptif, namun demi pengembangan psikologi sendiri sebagai sebuah disiplin Ilmu.
Beberapa macam metode Psikologi, sebagai berikut :
1. Metode Observasi, yakni metode penelitian yang digunakan untuk mempelajari dan mengomentari gejala-gejala kejiwaan secara cermat teliti dan sistematis. Observasi terdapat empat macam tehnik antara lain :
a. Natural Observasi, yakni penelitian yang dilakukan secara alamiah. Yang dimaksud dengan alamiah adalah tindakan atau situasi yang terjadi spontan alias tidak dibuat-buat.
b. Intropeksi (restropeksi), secara harfiah Intro berarti “dalam”, retro berarti “kembali” dan Spektro berarti “melihat”. Tehnik Intropeksi (restropeksi) adalah tehnik untuk melihat gejala psikis diri sendiri
c. Ekstropeksi, yakni tehnik yang mempelajari gejala dengan jalan mempelajari peristiwa-peristiwa atau proses-proses psikis orang lain secara seksama dan sistematis dengan menggali apa yang sebenarnya yang ada di balik ekspresi atau tingkah laku seseorang seperti perubahan roman muka dan gerak-gerik postur tubuh. Contoh ketika seseorang ketakutan biasanya menunjukan muka pucat atau lari sekencang-kencangnya
2. Metode Dukomen, yakni metode yang digunakan Untuk menyelidiki gejala- gejala kejiwaan manusia dengan cara mengumpulkan bahan-bahan atau dokumen catatan kehidupan seseorang sebanyak-banyaknya, kemudian di bandingkan dan di analisis, lalu ditarik kesimpulan-kesimpulan umum. Tehnik yang sering di gunakan dalam metode ini antara lain : (a) penyebaran angket; (b) Riwayat Hidup (biografi); (c) tehnik projective Test, yakni mengumpulkan dokumen mengenai permainan-permainan, gambar-gambar, karangan-karangan untuk kemudian dilakukan tes sesuai dengan intruksi permainan atau gambar untuk menemukan gambaran umum keadaan jiwa seseorang.
3. Metode klinis, Dinamakan metode klinis pertama kali digunakan dirumah adalah : si pasien sakit sebagai bagian proses penyembuhan penyakit. Keuntungan dari metode ini adalah bahwa si pasien di periksa berhadapan dengan penyidik atau Dokter, sehingga ia bisa memberikan respon secara langsung dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, dengan catatan agar suasana tanggung jawab dibuat serileks mungkin untuk menjaga agar jalan pikiran yang diselidiki tidak terganggu. Metode klinis dapat dilakukan di rumah sakit, pusat gangguan jiwa, rumah pemasyarakatan, pusat rehabilitasi Narkoba, Klinik atau badan Biro lembaga konsultasi, bimbingan penyuluhan psikologi.
4. Metode Eksperimen, metode ini biasanya dilakukan dalam laboratorium melalui Eksperimen (Percobaan). Eksperimen dilakukan untuk menguji hipotesis tentang reaksi-reaksi individu atau kelompok dalam situasi tertentu untuk menentukan gejala-gejala jiwa tertentu secara umum seperti pikiran, kemauan, ingatan, potensi, dan sebagainya. Melalui metode ini dapat pula diketahui perbedaan kapasitas individual, kondisi mental, bakat dan watak seseorang.

E. Gejala-gejala Kejiwaan Pada Manusia Normal
Jiwa manusia merupakan satu totalitas yang tidak bisa dibagi-bagi dan dipisah-pisahkan, di ibaratkan seperti rangkaian-rangkaian yang saling berkaitan satu sama lain dan tentu juga jiwa tidak bisa berdiri sendiri.
Jiwa yang ada pada manusia secara garis besar di bagi menjadi :
1. An naps Al Muthmainnah “(Jiwa yang tenang)” Yakni jiwa yang senantiasa patuh dan tunduk kepada perintah Allah SWT.
2. An naps Al Lawwamah “(Jiwa yang menyesali dirinya sendiri)” yakni Nafsu yang senatiasa gelisah dan tidak pernah puas terhadap apa yang dilakukannya.
3. An naps Al Ammaroh “(Jiwa yang selalu menyuruh kejahatan)” yakni, nafsu yang sentias patuh dan tunduk pada ajakan syahwat dan setan.
Macam-macam kegiatan Jiwa memiliki ciri-ciri khusus yang mencangkup konasi, kognisi, dan emosi. Yang disebut dengan gejala campuran kegiatannya meliputi perhatian, keletihan, dan sugesti.
A. Perhatian, yaitu kegiatan jiwa yang terpusat pada objek tertentu baik didalam maupun diliuar dirinya. Perhatian sangat erat hubungannya dengan kesadaran. Pehatian dari satu objek biasanya selalu bermula dari adanya kesadaran terhadap objek yang menjadi sasaran kita.
Proses-prose yang dapat menumbuhkan perhatian yaitu :
1. Proses Inhibisi, yaitu menghilangkan isi kesadaran yang tidak ada hubungannya dengan objek yang akan menjadi sasaran perhatian kita.
2. Proses Apersepsi, yakni berusaha untuk mendatangkan dan mengerahkan isi kesadaran kita hanya pada satu objek saja yang telah menjadi sasaran kita agar bisa membuat perhatian kita menjadi terfokus.
3. Proses adaptasi, yakni kita harus bisa menyesuaikan isi keadaan dengan kondisi objek sasaran kita tersebut. Sehingga tidak akan terjadi simpang siur atau pertentangan yang bisa menghambat atau mengganggu perhaitan kita.
B. Keletihan (kelelahan). Di dalam kehidupan kita sehari-hari manusia pasti memiliki alat penggerak di dalam dirinya untuk bisa melakukan kegiatan–kegiatan atau aktivitas-aktivitas. Alat penggerak tersebut akan mengalami penurunan sehingga kegiatanpun semakin berkurang dan menurun.
Gejala menurun dan berkurangnya daya penggerak disebut : keletihan atau kelelahan. Kelelahan menyebabkan segala fungsi jasmaniah dan rohaniah menjadi tidak efesien. Kelelahan mempunyai fungsi khusus yaitu sebagai pengatur kondisi tubuh kita
C. Sugesti adalah pengaruh yang berlangsung terhadap kehidupan dan segenap perbuatan, perasaan pikiran atau kemauan kita sangat dibatasi, orang-orang yang sangat mudah terkena sugesti disebut sugestibel dan orang yang memiliki daya pengaruh disebut sugestif
Sugesti memiliki peran yang sangat penting dalam setiap aspek kehidupan kita karena pada dasarnya jiwa manusia selalu berubah-ubah kadang naik-kadang turun. Sehingga memerlukan dorongan sugesti yang terus menerus. Apalagi seorang pemimpin atau pendidik harus bisa memberikan dorongan sugesti kepada anak buah atau murid-muridnya dengan cara yang positif dan tepat tentunya dengan demikian dia akan disegani, dipercaya, ditaati oleh orang-orang disekitarnya kemungkinan besar dia akan berhasil dalam aktivitasnya.





Tidak ada komentar: